Source: Pexels.com
Dewasa ini semakin banyak dijumpai pasien yang mengalami gangguan sistem imun. Jenis gangguan yang paling banyak terjadi dan mengkhawatirkan adalah reaksi hipersensitivitas atau alergi dan penyakit autoimun. Kedua jenis gangguan sistem imun tersebut cenderung berlangsung lama dan bersifat kambuh-kambuhan, membuat pasien merasa cemas dan menurunkan kualitas hidup. Masyarakat sering kali mencampuradukkan kedua jenis gangguan imun itu karena kurang mendapatkan informasi yang benar, hal mana akan menambah kecemasan dan kekhawatiran pasien maupun keluarganya. Alergi dan penyakit autoimun sebenarnya didasari penyimpangan respons imun yang berbeda. Penyakit alergi (reaksi yang dipicu oleh paparan zat dari lingkungan, disebut alergen) tidak akan berkembang menjadi penyakit autoimun (reaksi yang ditujukan kepada antigen atau bagian dari tubuh sendiri). Kedua jenis penyakit itu didasari oleh kecenderungan atau bakat genetik yang berbeda, namun karena adanya perubahan pola hidup dalam masyarakat modern yang cenderung kurang sehat, maka akhir-akhir ini keduanya semakin banyak dijumpai dan diidentifikasi. Artikel ini akan mengulas berbagai jenis gangguan sistem imun: meliputi penyakit alergi, penyakit autoimun, dan imunodefisiensi serta cara menanganinya untuk menjaga kesehatan tubuh.
Apa Itu Alergi atau Hipersensitivitas?
Reaksi hipersensitivitas merupakan reaksi sistem imun yang berlebihan terhadap zat-zat asing dari lingkungan yang sebenarnya tidak berbahaya, misalnya serbuk sari tanaman, debu, bulu hewan, atau makanan. Pada individu yang normal, zat-zat tersebut tidak menimbulkan reaksi atau gejala apa pun, namun pada individu yang “sensitif” zat-zat tersebut memicu reaksi yang berlebihan yang disebut reaksi hipersensitivitas atau alergi. Bagi individu semacam itu zat-zat tersebut merupakan alergen, yaitu zat yang memicu reaksi alergi. Reaksi alergi dapat menimbulkan gejala pada bagian tubuh atau organ yang berbeda: kulit, hidung, saluran napas, saluran pencernaan, atau mata. Reaksi alergi juga dapat ditimbulkan oleh bahan kosmetik maupun obat-obatan tertentu yang diminum. Walaupun pada umumnya reaksi alergi itu hanya berupa keluhan gatal, bengkak, ruam kemerahan di kulit, hidung buntu, beringus cair, bersin-bersin, sesak napas atau mengi yang sangat mengganggu dan menurunkan kualitas hidup, ada kalanya dapat terjadi reaksi alergi yang berat yang dapat mengancam jiwa, seperti pada kondisi anafilaksis, sindroma DRESS, dan sindroma Stevens-Johnson.
Beberapa Jenis Penyakit Alergi
1. Asma
Asma merupakan salah satu manifestasi reaksi alergi atau hipersensitivitas yang mengenai saluran napas. Alergen pemicunya dapat berupa debu, bulu hewan, atau serbuk sari tanaman, menimbulkan respons berupa peradangan saluran napas disertai penyempitan saluran napas, produksi lendir di saluran napas secara berlebihan yang juga dapat merangsang gejala sesak dan batuk-batuk kronis. Bahan non-alergen seperti asap rokok, asap pembakaran sampah, atau aktivitas olahraga juga dapat membangkitkan serangan asma. Asma bersifat kambuh-kambuhan.
Pasien asma di luar serangan seperti orang yang sehat, namun saat terjadi serangan asma yang pada umumnya didahului oleh infeksi virus atau bakteri, dapat terjadi gejala sesak napas yang berat. Bila tidak segera diatasi, kondisi ini juga berpotensi mengancam jiwa. Dengan diagnosis yang tepat, identifikasi alergen pemicu dan tatalaksana pengobatan yang benar maka pasien asma dapat dicegah agar tidak kambuh, tidak mengalami serangan asma dan dapat hidup seperti orang normal.
2. Rhinitis alergi
Rhinitis alergi merupakan manifestasi reaksi alergi yang mengenai mukosa hidung. Alergen pemicunya bisa sama dengan pemicu kekambuhan asma. Mukosa hidung dan mukosa saluran napas di paru seringkali dianggap suatu kesatuan sistem, cuma berbeda lokasi saja. Jadi, pasien asma beberapa diantaranya juga menderita rhinitis, atau sebaliknya beberapa pasien rhinitis juga ada yang mengidap asma. Gejala yang khas berupa: hidung buntu, bersin-bersin, dan produksi banyak ingus yang bening dan encer, tanpa disertai gejala demam atau infeksi. Pasien rhinitis alergi mengalami kekambuhan setiap kali terpapar alergen pencetus, dapat bersifat musiman atau sepanjang tahun. Peradangan kronis di rongga hidung yang tidak ditangani dengan baik dapat memicu timbulnya polip hidung yang semakin memperparah keluhan hidung buntu. Selain itu juga dapat menjalarkan peradangan ke rongga sinus (sinusitis) dan memicu infeksi sekunder oleh bakteri.
Berdasarkan tingkat keparahan gejala yang dialami pasien, rhinitis alergi dapat dikelompokkan menjadi yang terjadi secara berkala (intermittent) atau terus-menerus (persistent), dengan gejala yang ringan atau yang sedang-berat. Sama halnya dengan asma, dengan diagnosis yang tepat, identifikasi alergen pemicu, dan tatalaksana pengobatan yang benar, maka gejala rhinitis dapat dikendalikan. Jika dilakukan imunoterapi alergi, pasien rhinitis bahkan dapat “melepaskan diri” dari keharusan menggunakan obat secara terus-menerus. Anda dapat bertanya dan berdiskusi dengan dokter untuk menentukan apakah anda termasuk orang yang akan mendapat manfaat dari imunoterapi alergi itu.
3. Eksim
Penyakit ini sering juga disebut sebagai dermatitis atopik. Seperti yang tersirat dari namanya, dermatitis artinya peradangan pada kulit, sedangkan atopi artinya adalah kecenderungan genetik (diwariskan) pada seseorang untuk membentuk IgE (antibodi alergi) terhadap bahan-bahan atau zat dari lingkungan. Peradangan di kulit menimbulkan gejala berupa ruam kemerahan di kulit, rasa gatal, membuat pasien menggaruk kulitnya lalu menimbulkan luka, yang dapat terinfeksi dan menimbulkan komplikasi, penyakit yang kronis dan kambuh-kambuhan. Selain mengganggu dan menurunkan kualitas hidup, penyakit ini juga menyebabkan masalah kosmetik dan menurunkan rasa percaya diri atau harga diri (self esteem) pasien.
Pasien eksim atau dermatitis atopik selain mengalami penyimpangan respons imun (hipersensitif) pada umumnya juga memiliki gangguan pada sistem pertahanan kulit (kulit cenderung kering, pecah-pecah) yang memudahkan bahan asing masuk melalui rekahan di kulit dan merangsang aktivitas sel-sel imun di kulit. Pasien “terpaksa” menggunakan obat-obatan yang diminum dan obat topikal yang dioleskan di kulit untuk jangka panjang, yang seringkali menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya efek samping obat. Dengan pemilihan terapi yang tepat sebenarnya kondisi pasien dapat dikendalikan secara optimal dan kualitas hidupnya dapat ditingkatkan.
4. Alergi makanan
Ketika pasien mengalami gejala alergi, misalnya alergi di kulit yang berlangsung lama, seringkali pasien menduga pencetus gejalanya adalah alergi makanan dan sebelum berkonsultasi ke dokter pada umumnya sudah mencoba menghindari beberapa jenis makanan yang dicurigai sebagai penyebab, namun kecewa karena gejala alerginya masih tetap saja muncul walaupun bahan makanannya sudah dihindari. Kecurigaan bahwa makanan sebagai penyebab alergi harus dibuktikan dengan memastikan bahwa gejala alerginya muncul segera (dalam beberapa menit hingga 2-4 jam) setelah mengkonsumsi bahan makanan tertentu, dan gejala itu tidak pernah muncul ketika pasien menghindari atau pantang makanan tersebut. Gejala alergi makanan dapat berupa: bengkak pada bibir, lidah, atau wajah, rasa gatal atau kesemutan dalam rongga mulut, biduran, sesak napas, mengi, rasa melayang, kepala terasa ringan, kramp perut, mual-muntah, diare, hidung buntu, beringus bening dan encer, bersin-bersin, gatal dan kemerahan di mata, pingsan atau bahkan bisa menimbulkan reaksi alergi yang berat (anafilaksis).
Penyebab alergi makanan pada umumnya adalah komponen protein yang terkandung dalam makanan tersebut, bukan komponen karbohidratnya, namun dalam beberapa tahun terakhir diketahui adanya bahan karbohidrat dalam makanan yang dapat memicu alergi yaitu: galactose-α-1,3-galactose (alpha-gal) yang banyak dijumpai dalam daging merah dan galacto-oligosaccharides (GOS) yang banyak dijumpai dalam makanan sari laut seperti tiram atau ascidians (sea squirts). Pemeriksaan yang digunakan untuk mendukung diagnosis alergi makanan adalah pemeriksaan kadar IgE spesifik, bukan pemeriksaan kadar IgG.
5. Alergi Obat
Dewasa ini semakin sering dijumpai kasus alergi obat dengan bermacam gejala klinis, mulai dari gejala yang ringan (ruam kemerahan di kulit, bengkak di wajah, kelopak mata atau bibir, biduran) hingga yang berat (anafilaksis, sindroma Stevens-Johnson, Toxic Epidermal Necrolysis/TEN). Obat yang sering menjadi pencetusnya adalah obat golongan anti nyeri (analgesik non-steroid, NSAID), antibiotika, obat anti kejang atau anti epilepsi. Kondisi yang parah membutuhkan rawat inap. Untuk membuktikan bahwa gejala alergi yang muncul itu disebabkan oleh suatu obat tertentu (yang dicurigai) diperlukan data yang detail tentang: gejala yang dialami, riwayat paparan obat sebelum gejala muncul, daftar obat yang sedang digunakan, riwayat alergi sebelumnya dan riwayat alergi pada keluarga, lalu dilakukan tes provokasi obat yang dicurigai. Jika obat tertentu dipastikan sebagai penyebabnya, maka sebaiknya obat tersebut dihindari dan dicarikan obat alternatifnya yang aman. Jika tidak didapatkan obat alternatif lainnya dan obatnya sangat diperlukan, maka dapat dilakukan desensitisasi yang bertujuan agar pasien tetap dapat menerima obat tersebut tanpa memicu reaksi alergi lagi.
Apa itu Penyakit Autoimun?
Penyakit autoimun adalah penyakit yang disebabkan oleh adanya komponen sistem imun adaptif (autoantibodi dan/atau sel T autoreaktif) yang tidak mampu membedakan kawan atau lawan, lalu menyerang bagian tubuh sendiri, menimbulkan peradangan dan kerusakan jaringan tubuh sendiri. Penyakit ini dapat dikelompokkan sebagai penyakit autoimun spesifik organ (hanya menyebabkan kerusakan pada satu organ tertentu saja) atau penyakit autoimun sistemik (menyebabkan kerusakan pada beberapa jenis jaringan di banyak organ tubuh yang berbeda). Penyakit Diabetes tipe 1 merupakan contoh penyakit autoimun yang hanya menyerang pankreas, penyakit Graves’ adalah penyakit autoimun yang hanya menyerang kelenjar tiroid, psoriasis dan vitiligo adalah penyakit autoimun yang menyerang komponen dari kulit. Contoh khas penyakit autoimun sistemik adalah SLE (Lupus) yang dapat menyerang berbagai organ: kulit, persendian, otot, paru, ginjal, dan saraf pusat. Seperti telah disinggung di atas, penyakit ini didasari oleh adanya kecenderungan atau bakat genetik dan dipicu oleh faktor-faktor lingkungan seperti infeksi virus atau bakteri. Setiap jenis penyakit autoimun ditegakkan diagnosisnya melalui seperangkat kriteria diagnosis tertentu, tidak cukup hanya didasarkan pada pemeriksaan ANA yang positif.
Beberapa Jenis Penyakit Autoimun:
1. Systemic Lupus Erythematosus (Lupus)
SLE atau sering disingkat Lupus merupakan penyakit autoimun yang terutama menyerang wanita usia subur, mengenai banyak organ tubuh termasuk kulit, persendian, ginjal, dan saraf pusat (otak). Gejala yang sering dijumpai adalah: bengkak dan nyeri pada persendian, demam yang tidak disebabkan oleh infeksi, sariawan yang tidak kunjung sembuh, rambut rontok, ruam kemerahan di kulit, termasuk ruam khas di wajah yang menyerupai kupu-kupu, rasa lelah berkepanjangan. Walaupun jarang, penyakit juga ini dapat menyebabkan kelainan di paru (batuk darah, sesak), ginjal (kebocoran protein dalam urine), dan otak (kejang, penurunan kesadaran). Gejala dapat bervariasi mulai dari yang ringan hingga yang berat dan mengancam jiwa. Perjalanan penyakitnya berfluktuasi dari penyakit yang tenang terkendali (remisi) dan kobaran kekambuhan penyakit (flare up).
Diagnosis SLE didasarkan pada kriteria ACR (American College of Rheumatology) atau SLICC (Systemic Lupus International Collaborating Clinics) dan memerlukan setidaknya dijumpai 4 kriteria positif. Jika digunakan kriteria EULAR (European League Against Rheumatism) pasien dapat diklasifikasikan sebagai SLE jika sekurangnya didapatkan skor 10 poin. Kriteria meliputi kumpulan gejala klinis dan kelainan imunologis. Terapi SLE umumnya menggunakan obat golongan kortikosteroid, anti malaria (hydroxychloroquine), imunosupresan, analgesik, dan beberapa obat biologis seperti antibodi monoklonal.
2. Arthritis Rheumatoid
Penyakit autoimun ini terutama menyerang persendian, menimbulkan gejala pembengkakan pada sendi yang nyeri dan teraba hangat, pada kedua sisi anggota gerak kiri dan kanan (simetris). Sendi yang paling sering terkena adalah persendian kecil di pergelangan tangan dan jari-jari tangan. Sendi besar seperti sendi bahu dan lutut juga bisa terkena. Nyeri dan kekakuan pada sendi didapatkan saat bangun tidur atau istirahat yang lama. Wanita 2,5 kali lebih banyak mengalami penyakit ini ketimbang pria. Jika tidak didiagnosis dan diobati dengan benar, dapat terjadi komplikasi berupa erosi dan kerusakan sendi yang berakhir sebagai deformitas sendi. Di jari-jari tangan dapat terjadi deformitas “buttonhole” atau “swan neck”. Gejala lain di luar sendi dapat berupa nodul rheumatoid di kulit, vaskulitis, alopecia areata (kebotakan), gejala di mata, paru, jantung, hati, dan saraf. Diagnosis ditegakkan dengan kriteria ACR/EULAR dan didukung oleh hasil positif pemeriksaan antibodi anti-cyclic citrullinated peptide (anti-CCP). Terapi pada umumnya berupa DMARD (disease-modifying antirheumatic drug), anti radang fisioterapi, analgesik, serta latihan fisik yang teratur. Pada kondisi yang tidak terkendali dengan obat-obat konvensional mungkin dibutuhkan obat-obatan biologis (antibodi monoklonal).
Penyakit Imunodefisiensi?
Penyakit imunodefisiensi adalah kondisi dimana respons imun lemah dan tidak dapat memberikan perlawanan terhadap infeksi. Kelemahan pada sistem imun dapat merupakan penyakit bawaan sejak lahir atau merupakan akibat sekunder adanya penyakit lain yang melemahkan sistem imun: Infeksi HIV, proses penuaan, atau akibat penggunaan obat-obatan yang menekan respons imun (obat imunosupresan, radiasi, obat anti kanker). Pasien dengan imunodefisiensi sering mengalami serangan penyakit infeksi yang berulang-ulang. Beberapa pemeriksaan laboratorium dapat menentukan jenis kelemahan sistem imun yang terjadi: gangguan fungsi fagosit, gangguan fungsi komplemen, gangguan pembentukan atau fungsi antibodi, gangguan fungsi sel T dan sel B. Untuk mengatasi infeksi, pasien imunodefisiensi memerlukan terapi antibiotika, anti jamur, anti virus, dan ada kalanya imunoglobulin intravena (IVIG). Untuk mencegah infeksi di kemudian hari pasien imunodefisiensi dan imunokompromis membutuhkan vaksinasi (jika kondisinya memenuhi syarat) atau transplantasi sumsum tulang.
Kesimpulan
Gangguan sistem imun dapat mengganggu aktivitas sehari-hari, menurunkan kualitas hidup, dan bahkan berpotensi mengancam jiwa jika tidak ditangani dengan tepat. Dengan mengenali gejala, memastikan diagnosis penyakit penyebab, dan memahami cara penanganannya, Anda dapat menjalani hidup yang lebih sehat dan produktif. Jangan ragu untuk berkonsultasi dengan dokter jika mengalami gejala gangguan imun atau alergi.
Informasi lebih lanjut dan penjadwalan konsultasi bersama Dokter Spesialis kami, silakan menghubungi WhatsApp Poliklinik RS Darmo di (0896-3009-8900).
Author: Prof. Dr. dr. Gatot Soegiarto, Sp.PD, K-AI, FINASIM
Editor: Lentera
Comments